Beranda | Artikel
Asma binti Umais رضي الله عنها , (Tak Mau Kalah dari Kaum Lelaki dalam Meraih Pahala)
Kamis, 6 Januari 2022

Seorang muslim (dan muslimah) yang menelaah sejarah Sahabiyah (para Sahabat Rasulullah dari kalangan wanita), ia akan menjumpai sisi penting yang telah tertanam pada jiwa dan hati mereka. Yaitu, cinta berbuat ketaatan, semangat dalam berlomba untuk meraihnya, dan berbahagia dengan pahala dari Allah سبحانه وتعالى . Hal ini sebagai aplikasi firman Allah سبحانه وتعالى :

﴿۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ﴾

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (Qs. Ali ‘Imrân/3:133).

Bukti-bukti yang menguatkan fakta ini sangat banyak. Salah satunya, yaitu kisah dari Sahabiyah yang bernama ‘Asma binti ‘Umais bin al-Hârits al-Khat’amiyyah رضي الله عنها . Dia menikah dengan Ja’far bin Abi Thâlib رضي الله عنه . Dan bersama dengan sang suami, wanita ini berhijrah ke Habasyah. Di sana, Asma melahirkan tiga anak-anaknya, yaitu ‘Abdullah, ‘Aun dan Muhammad. Sepeninggal Ja’far رضي الله عنه , suaminya di perang Mu’tah, beliau diperistri oleh Abu Bakar ash-Shiddîq رضي الله عنه dan mendapatkan seorang putra bernama Muhammad juga. Setelah Abu Bakar رضي الله عنه wafat, Asma رضي الله عنها menjadi pendampinghidup ‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه . Demikian sekilas perjalanan hidup wanita mulia yang termasuk generasi awal umat Islam.1

Imam al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan sebuah kisah menarik dari Sahabiyah yang satu ini.2

Setelah beberapa lama berada di tanah Habasyah, kaum muslimin bertolak hijrah menuju Madinah. Kedatangan mereka menepati kemenangan-kemenangan kaum muslimin atas Yahudi Khaibar.

Rasulullah ﷺ sangat gembira dengan kedatangan rombongan Ja’far bin Abi Thâlib رضي الله عنه yang disertai rombongan Abu Musa al-Asya’ari رضي الله عنه yang dikenal dengan Ahlus-Safînah (para penumpang kapal). Dari Yaman, mereka yang berjumlah 52 atau 53 orang, sebenarnya berniat hijrah ke Madinah. Akan tetapi, kapal yang mereka tumpangi terdampar di negeri Raja an-Najâsyi. Di sana, mereka berjumpa dengan Ja’far bin Abi Thalib. Maka, tinggallah mereka bersama-sama.

Ternyata Rasulullah ﷺ memberi bagian kepada mereka semua dari yang diperolehnya saat di Khaibar, daerah yang subur tersebut. Padahal mereka tidak ikut dalam peperangan itu.

Singkat cerita, Asma binti ‘Umais رضي الله عنها , salah seorang dari mereka lantas menemui Hafshah رضي الله عنها , Ummul-Mu`minin. Di saat itu, bapaknya, ‘Umar bin al-Khaththâb juga datang mengunjungi putrinya.

‘Umar رضي الله عنه bertanya kepada putrinya, Hafshah رضي الله عنها : “Siapakah wanita itu?”.

Hafshah رضي الله عنها menjawab: “Ia

Asma binti Umais”. “Wanita yang berhijrah ke Habasyah? Wanita yang mengarungi laut?” tanya ‘Umar رضي الله عنه lebih lanjut.

Asma رضي الله عنها menjawab: “Iya, benar”.

Umar رضي الله عنه menimpali:

سَبَقنَاكُمْ بالهِجْرَةِ فَنَحْنُ أَحَقُّ بِرَسُوْلِ اللهِ ﷺ منكُمْ

“Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah. Kami lebih berhak (dekat) dengan Rasulullah ﷺ daripada kalian”.

Mendengar ungkapan ‘Umar ini, maka Asma رضي الله عنها marah dan tidak terima: “Perkataanmu tidak benar, wahai ‘Umar. Sama sekali tidak! Demi Allah, kalian dahulu sudah hidup bersama Rasulullah ﷺ . Beliau memberi makan manusia dari kalian yang lapar, dan menasihati manusia dari kalian yang tidak mengerti. Sedangkan kami, berada di daerah atau negeri orang asing yang membenci kami3 di Habasyah. Kami dalam kondisi tertindas dan dicekam rasa takut. Itu kami alami di jalan Allah dan Rasulullah. Demi Allah, aku tidak akan makan dan tidak akan minum, hingga aku sampaikan apa yang engkau ucapkan itu kepada Rasulullah. Demi Allah, aku tidak berkata bohong atau menyeleweng. Aku tidak akan menambah-nambahi (di hadapan Rasulullah)”.

Begitu berjumpa dengan Rasulullah ﷺ , ‘Asma رضي الله عنها menyampaikan isi hatinya: “Wahai Rasulullah, ‘Umar berkata demikian-demikian”. Rasulullah ﷺ menjawab:

لَيْسَ بِأَحَقَّ بِيْ مِنْكُمْ وَلَهُ وَلأَصْحَابِهِ هِجْرَةٌ وَاحِدَةٌ وَلَكُمْ أَنْتُمْ أَهْلَ السَّفِيْنَةِ هِجْرَتَانِ

“Ia tidak lebih berhak dekat denganku daripada kalian. Ia dan para sahabatnya melakukan satu hijrah. Sementara kalian, wahai para penumpang kapal, telah melakukan dua hijrah”.

Hadits ini terdengar sangat menggembirakan dan melegakan hati Asma’ binti ‘Umais, Abu Musa, dan orang-orang yang satu kapal dengan mereka berdua g . Tidak ada sesuatu di duniaini yang lebih membahagiakan mereka dan lebih agung ketimbang apa yang dikatakan Rasulullah ﷺ kepada mereka.

Ini menunjukkan betapa besar semangat mereka, kaum lelaki dan wanita dalam menggapai kebaikan. Asma’ رضي الله عنها begitu terluka manakala mendengar komentar ‘Umar رضي الله عنه . Karena khawatir telah hilang dari tangannya pahala yang besar. Ini bukan bentuk hasad dan ketidaksenangan kepada ‘Umar رضي الله عنه . Sebab, Asma رضي الله عنها tidak menghendaki lenyapnya pahala dari sahabat besar itu dan para sahabat lain yang langsung berhijrah ke Madinah.

Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kisah menarik di atas.

  • Seorang muslim, saat mendengar perkataan orang lain yang memerahkan telinga, seyogyanya tidak terperangkap oleh jerat setan, hingga keluar kedustaan dan perkataan batil dari bibirnya tentang pihak yang membuatnya marah.
  • Para Sahabat sangat gembira dengan pahala dari Allah Ta’ala. Ini berangkat dari kekuatan iman mereka dan besarnya keterikatan mereka dengan akhirat. Berbeda dengan (sebagian) orang sekarang. Kebahagiaan mereka akan meluap dikala berhasil menggenggam dan memperoleh nikmat duniawi yang besar, dan sebaliknya, acuh tak acuh terhadap hilangnya pahala dan amalan ketaatan.
  • Pesan moral bagi para pengusung isu gender. Bahwa hakikat emansipasi, ialah pada persamaan dalam memperoleh hak untuk beramal shalih, dan ganjaran besar dari Allah Ta’ala. Bukan persamaan pada seluruh dimensi kehidupan yang sebenarnya tidak mesti cocok dengan kodrat wanita. Bukan kemuliaan yang mereka peroleh, tetapi justru sebaliknya. Wallahu a’lam. (Ustadz Abu Minhal)

 

Maraji’:

  1. Al-Ishâbah, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni, Tahqîq: Khalîl Makmûn Syîha, Dârul-Ma’rifah, Beirut, Cetakan I, Tahun 1425/2004.
  2. Durûs min Hayâtish-Shahâbiyyât, Dr. ‘Abdul-Hamîd bin ‘Abdir-Rahmân as-Suhaibani, Madârul-Wathan, Cetakan I, Tahun 1424-2003.
  3. Usudul-Ghâbah fî Ma’rifatish-Shahâbah, Ibnul Atsîr al-Jazari, Dârul Fikri, Cetakan 1426.

Footnote:

1 Usudul-Ghâbah (6/14), al-Ishâbah (4/2417).

2 HR al-Bukhâri no. 4230 (Fathul Bâri, 9/327, Ta’liq: ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir al-Barrâk) dan Muslim no. 6360 (Shahîh Muslim dengan syarahnya (16/280), Tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha)

3 Karena mereka kuffâr kecuali an-Najâsyi z. (Syarhu Shahîh Muslim, 16/281)

Majalah As-Sunnah/ Baituna/Edisi 05/Th. XII/1429H/2008M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/baituna/asma-binti-umais-%d8%b1%d8%b6%d9%8a-%d8%a7%d9%84%d9%84%d9%87-%d8%b9%d9%86%d9%87%d8%a7/